Senin, 29 Oktober 2012

Riwayat Shirdi Sai Baba


RIWAYAT SHIRDI SAI BABA

            Kisah ini dimulai pada awal abad IX . Pada waktu itu hidup seorang tukang perahu miskin bernama Ganga Bhavadia. Pekerjaannya menolong orang yang menyeberangi sungai di daerah Pathri dekat Manmad. Istrinya bernama Dwagiriama. Perempuan ini setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, mengabdikan waktunya untuk memuja Tuhan dalam rupa dewi Parvathi. Sedangkan suaminya memuja Dewa Shiva. Mereka berdua adalah orang yang sangat taat serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suami istri i9ni tidak mempunyai anak.
            Pada suatu sore ketika Ganga Bhavadia pulang dari pekerjaannya, ia melihat tanda tanda akan terjadi badai, dan benarlah malam itu terjadi badai besar. Segera ia pergi ke sungai untuk memperkokoh ikatan perahunya serta menjaganya. Istrinya tinggal di rumah sendirian.
            Sementara suaminya tidak berada di rumah, datanglah seorang tua ke rumahnya untuk berlindung dari amukan badai. Orang tua itu memohon kepada Dewagiriama agar diberi makan dan tempat bermalam. Dewagiriama memberinya makan dan mengijinkannya beristirahat di beranda. Beberapa waktu kemudian orang tua itu mengetuk pintu dan mengeluh bahwa ia tidak bisa tidur dan minta kakinya dipijat.
            Sudah barang tentu nyonya rumah terperanjat dengan permintaan tamu asing ini, lebih lebih ia berada seorang diri di rumah. Untuk tidak mengecewakan orang tua itu diam diam ia pergi lewat pintu belakang untuk menemui tetangganya yang berprofesi sebagai tukang pijat. Namun malam itu pertolongan sulit diperoleh. Dengan sangat kecewa ia kembali ke rumah dan berdoa pada dewi Parvathi. Seraya menangis ia memohon pertolonganNya serta mengatasi situasi yang sulit ini. Setelah itu ia mendengar ketukan di pintu belakang, sambil menyeka air matanya ia membuka pintu dan di sana telah berdiri seorang wanita. Wanita ini mengaku bahwa ia suruhan tetangga yang dimintainya bantuan. Dwagiriama amat berlega hati dan dibawanya wanita ini kepada orang tua di beranda dan pintu ditutup dari dalam. Ketika ia hendak tidur terdengar lagi ketukan dari pintu depan.
            Begitu membukakan pintu terpesonalah ia dengan penampakan gaib yang disaksikannya. Dalam keadaan terkesima dan tak dapat berkata apa apa ia bersujud menghormati pasangan mulia yang ada di hadapannya.
            Rupanya Tuhan Yang Maha Esa telah menampakkan Diri dalam wujud Shiva dan Parvathi. Parvathi berkata “Marilah kita bersama memberkati dia” Shiva menjawab bahwa Ia akan memberi anugerah tersendiri. Parvathi memberkatinya dengan dua anak, sementara Shiva mengatakan bahwa Ia sendiri akan menjelma sebagai anak ketiga berupa seorang anak laki.
            Sambil berlinagng air mata ia berusaha melihat kembali kedua pasangan mulia itu, namun keduanya telah lenyap. Dengan perasaan gembira ia menanti kedatangan suaminya untuk menceritakan pengalamannya.
            Ganga Bhavadia baru kembali pada keesokan harinya setelah badai reda dan fajar menyingsing. Cerita istrinya dianggapnya obrolan biasa dari seorang wanita yang ditinggal sendiri di rumah dan sampai saat ini belum memiliki anak.
            Waktu berlalu begitu cepat dan benarlah Dewagiriama telah melahirkan dua anak, dan kini segera akan menyusul anak ketiga. Ganga Bhavadia mulai menyadari bahwa istrinya benar dan ia mulai merasa bersalah. Kini ia mulai bosan dengan pekerjaan sebagai tukang perahu dan berkeinginan meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi bertapa. Hal ini justru terjadi pada bulan akhir kehamilan istrinya. Ia bertekad untuk meninggalkan rumah tangganya dan menjadi pertapa.
            Tidak demikian halnya dengan Dewagiriama , ia merasa bahwa semua yang dikatakan dewa Shiva itu benar bahwa anak ketiganya adalah penjelmaan Dewa Shiva sehingga ia tidak perlu meninggalkan rumah tangganya dan mencari Tuhan kemana mana. Ganga Bhavadia mengatakan bahwa ia tidak puas dengan penampakan Tuhan melalui wujud jasmani anak ketiganya, dan berkeinginan melihat sendiri kecemerlanganNya tanpa perantara tubuh manusia. Sesuai aturan Dharma maka bagi istrinya tidak ada pilihan lain selain mengikuti sang suami dan kedua anaknya dititipkan pada ibunya.
            Dalam perjalanan sang istri merasakan tanda tanda akan melahirkan dan dimintanya sang suami untuk menunggu sebentar, tapi Ganga Bhavadia terus berjalan tanpa berhenti . Tetapi sang istri berhenti di bawah pohon beringin untuk siap siap melahirkan. Tak lama kemudian lahirlah seorang putra, maka terpenuhilah penampakan gaib yang diterimanya dulu.
            Lalu dibalutnya bayinya dengan dedaunan dan dibuatkan pula tempat tidur dari dedaunan lalu diikutinya lagi suaminya dalam keadaan tergesa gesa. Apa yang selanjutnya terjadi ?
            Pada hari itu seorang Muslim bernama Patil sedang melakukan perjalanan bersama istrinya pulan dari desa lain. Ketika mereka lewat di bawah pohon beringin, mereka mendengar tangis bayi. Tanpa ragu istrinya mencari arah suara tangis bayi itu dan didapatilah bayi yang baru saja dilahirkan. Dengan tercengang diberitahukanlah hal itu kepada suaminya , dan mereka menengok ke kanan dan  ke kiri untuk mencari ibu si bayi namun sia sia karena sang obu telah lama berlalu.
            Akhirnya mereka bertekad membawa pulang bayi itu karena mereka juga tak mempunyai anak. Mereka menganggap bayi ini sebagai anugerah Allah dan mereka beri nama bayi itu Babu.
            Setelah Babu besar Pak Patil meninggal dunia dan Babu diasuh oleh ibu angkatNya. Menurut pengamatan ibu angkatNya Babu tidak sama dengan anak anak lainnya. Anak ini menunjukkan tanda tanda yang luar biasa dan hal ini membuat ibu angkatNya gelisah. Misalnya ketika anak itu menaruh Linggam di Mesjid untuk dipuja dan sebaliknya melantunkan ayat ayat Al Qur’an di dalam Pura yang dikunjunginya. Demikianlah Babu seakan igin menunjukkan kepada warga desa itu akan makna kesatuan dua agama besar itu.
            Sebaliknya hal ini menimbulkan keresahan pada masyarakat dan berbagai protes ditujukan pada ibu Patil. Karena sang ibu tidak mengetahui keluarga Babu yang sebenarnya maka ia tidak tahu apa yang harus diperbuat terhadap anak itu,
            Pada suatu hari babu atau calon Sai Baba Shirdi memperlihatkan suatu tanda pada istri seorang tuan tanah yang kaya. Pada saat itu Babu sedang bermain kelereng dengan anak tuan tanah itu tetapi semua kelereng dimenangkan oleh Babu. Anak tuan tanah itu teringat bahwa di kamar sembahyangnya terdaoat sebuah saligram (fungsinya sama dengan lingam tetapi bentuknya bulat) yang menyerupai kelereng dan berwarna hitam. Diambilnya saligram tersebut dan dipertaruhkannya demi memenangkan kembali kelerengnya yang telah habis. Tetapi saligram itupun dimenangkan Babu. Akhirnya anak tuan tanah itu merasa bahwa kemenangan Babu karena tipu daya dan dimintanya kembali saligram tadi tapi bukannya mengembalikan tapi Babu malah memasukkannya kedalam mulutNya. Hal ini dilaporkan pada ibunya, dan ibunya meminta kembali benda suci tersebut, tapi babu menolak membuka mulutNya. Mulut Babu akhirnya dibuka paksa, tetapi bukan saligram yang didapat dalam mulutNya melainkan sebuah penampakan kosmik dari tuhan Yang Maha esa Seru Sekalian Alam sebagaimana pernah dilihat Yashoda dalam mulut Krishna. Setelah kejadian ini istri tusn tanah ini bersujud di hadapan Babu. Babu berkata agar istri tuan tanah ini kembali dan mencari saligram itu di dalam kamar sembahyangnya. Ternyata benda itu telah kembali ke tempatnya dengan mengherankan.
            Sejak saat itu istri tuan tanah tadi selalu rutin mengun jungi Babu di rumahnya dan bersujud di hadapanNya. Namun tidak demikian halnya dengan orang desa lainnya , mereka mencemooh kelakuan istri tuan tanah ini sehingga ia menghentiukan kelakuannya. Tetapi dalam hati ia tetap memuja Babu.
            Ibu Patil bingung dengan kelakuan anaknya dan kemudian memtuskan untuk membawa Babu ke Ashram Sadu Venkusa. Sementara itu Sadu Venkusa pada malam sebelumnya bermimpi bahwa Dewa Shiva berkata kepadanya akan menenmuinya besok pagi pulul 10.00.
            Demikianlah benar adanya keesokan harinya Babu dating diantar Bu Patil jam 10.00 pagi dan disambut dengan hangat oleh Sadu Venkusa, karena ia telah tahu bahwa anak itu penjelmaan dewa Shiva.
            Sadu Venkusa sangat menyayangi Babu dan hal ini menimbulkan kecemburuan anak anak lain dan memperlakukan Babu dengan tidak baik. Serombongan anak yang tak suka padaNya mengikuti dari belakang dan menghantamNya dengan batu bata sehingga kening Babu berdarah. Tetapi sebagai penjelmaan Ilahi Babu sedikitpun tak memperlihatkan tanda tanda kesakitan dan malah memperlihatkan batu bata yang penuh darah itu pada Sadu Venkusa. Batu itu dianggap pemberian dan selalu dibawaNya kemana mana dan batu ini pulalah yang akan menemaninya kelak di Mesjid Shirdi. Beliau menggunakannya sebagai bantal atau sandaran waktu tidur.
            Keberadaan Sai Baba semasa hidupNya di Shirdi dengan segala ajaranNya telah dicatat oleh pelbagai ahli baik dari India sendiri maupun dari Barat. Pernah suatu saat Beliau berkata pada seorang pengikutNya Kaka Saheb Dixit bahwa Ia akan kembali setelah delapan tahun setelah kematianNya.
            Pada tahun 1917 setahun sebelum Beliau wafat , Ia telah memberi jawaban yang mengandung ramalan pada seorang perempuan pengikutnNya. Perempuan ini telah kekehilangan empat anaknya. Ia memohon izin Shirdi Baba agar bisa mengabdi padaNya. Ia memperoleh jawaban sebagi berikut :
“ Tidak sekarang, tapi nanti setelah Aku datang kembali di Andhra (Andhra Pradesh) maka engkau akan bertemu denganKu dan tinggal bersamaKu.” Ramalan ini terbukti benar bahwa ibu ini kemudian tinggal di Prashanti Nilayam, Ashram Sathya Sai Baba yang sekarang.
            Suatu hari di bulan Oktober 1918 ketika Shirdi Sai Baba tidak sedang berada di Mesjid,  seorang anak muda menyapu lantai Mesjid dan ketika hendak membersihkan tempat di mana batu bata Shirdi Sai Baba terletak, secara tidak sengaja batu bata itu terlepas dari genggamannya dan pecah menjadi dua.
            Ketika Beliau datang dan melihat kejadian ini, Beliau berkata ; “Bukan batu bata yang pecah tapi nasibku yang hancur. Teman sepanjang hidupku (badan) telah hancur. Teman sepanjang hidupKu meninggalkan Daku hari ini, dengan batu bata itulah Aku bermeditasi.”
            Demikianlah siang itu pukul 14.30 tanggal 15 Oktober 1918 tepat pada hari raya Vijaya Dasami ( Kemenangan Dharma melawan Adharma) Shirdi Sai Baba meninggalkan ragaNya.



SHIRDI SAI BABA SEMASA HIDUPNYA